Welcome
elsa palevi
On Saturday, October 27, 2012
SURAT
UNTUK DIANDRA ❤
Baca kutipan
cerita ini kawan, dan ambil hikmahnya :')
Maaf jika ada
salah kata dan sebagainya, mohon dimaklum i.
Silahkan
membaca...
Aku menyayangimu, Di. Menyayangimu jauh
melebihi yang dapat kamu bayangkan, karna kamu bahkan tak mengenalku.
Aku mncintaimu, Rekehan senyummu, tawa
lepasmu, keceriaanmu, aku suka semua darimu. Tapi, kamu tak tau itu.
Kmu tak pernah sadar dan aku tak pernah mendapat
kesempatan untuk mendekat padamu. Tak pernah bisa menghampiri 'tuk menyatakan aku
sayang kamu'
••••
Stiap hari aku datang, Di. Minimal 5 menit,
maksimal sepanjang hari, hanya untuk melihatmu dari jauh. Mengagumi bahwa kamu
ciptaan-Nya yang paling indah. Memandangi binar indah matamu yang tak mampu
kunikmati untukku sendiri. Memperhatikan derai tawamu yang suatu saat akan jadi
milikku sepenuhnya.
Tapi, kamu tak pernah sadar aku ada. Walau
sesunguhnya kita begitu dekat kamu tak pernah tau aku ada walau tlah sering kau
melihatku-
N.
••••
Tahukah kamu, Di, aku si tukang ojek yang
memanyungi kamu degan upah Rp.1000 waktu kamu kehujanan dan bis oranye itu tak
kunjung datang? Tahukah kamu, aku si
tukang siomay yang seporsi cuma berharga 2500 perak, kala kmu kelaparan usai
latihan voli? Tahukah kamu, aku si
pegawai toko buku yang menawarkan jasa fotokopy ketika kamu kehilangan catatan
Matematika sehari sebelum ujian? Tahukah
kamu, 2 minggu yang lalu ketika kamu digoda anak-anak jahil di mulut gang, aku telah
menangani semuanya begitu kamu pergi. Sekarang kamu tak perlu khawatir dan was-was lagi
karna orang-orang kurang kerjaan itu telah kubereskan. Mereka takkan berani
menggangumu lagi. Paling tidak selama ada aku.
Ksatriamu.
••••
Aku ingin jadi pahlawanmu, Di. Ingin
melindungimu selalu. Ingin jadi ksatria penjagamu. Aku ingin jadi yang kau cinta. Ingin
setidaknya menempati htimu, sekali saja aku ingin jadi yang utama bagimu, Tapi
kamu tak pernah tau itu.
Waktu bergulir dan kmu terus berjalan di
duniamu sendiri. Kamu tenggelam dalam aktivitasmu, teman-teman mu,
lingkunganmu, pacarmu, sementara aku terperangkap dalam kesibukan absurd; mencintaimu dari jauh dan berharap suatu saat
kamu akan berpaling dan manemukan sosokku.
Karna aku tak pernah jauh darimu, sungguh
aku tak pernah jauh.
- Aku, di sini -
••••
Andai kamu menengok sebentar, andai kamu
meluangkan waktu sesaat saja. Aku pasti ada ketika kamu menoleh, seperti selama
ini aku selalu ada buatmu.
Kala kamu butuh, kamu senang, kamu susah.
Aku ingin senantiasa di sana untkmu, menghapus air matamu, tertawa bersamamu,
menangis deganmu.
Aku ingin di sana buat kmu, dan sekali saja
aku ingin kmu tau bahwa aku ada.
••••
Aku hampir menyapamu hari ini, kamu cantik
sekali tadi. Aku nyaris menegurmu, ketika mndadak kudengar komentarmu tentang
anak-anak klub Fisika. "Aku tidak
suka cwo cupu! kerjaanya nongkrong ngga jelas di lab, gak gaul pula." katamu.
Cupu-kah aku? Aku anggota klub fisika.
-NH-
••••
Ini surat terakhir yang kutulis untukmu,
knapa? Karena hari ini aku akan menyatakan perasaanku padamu. Perasaan yang sudah
lama kupendam. Hari ini aku akan membiarkannya muncul ke permukaan, supaya kamu
melihatnya. Supaya kamu tau ada yang mencintaimu -walau mungkin kamu tak akan
peduli. Yang penting, surat-surat ini akhirnya akan sampai ke tanganmu.
With love, Narendra.
Ia melipat kertas surat di tangannya.
Mempertemukan ujung-ujungnya degan hati-hati kemudian memasukkannya ke dalam
amplop bersama lembar-lembar surat yang lain.
Hari ini cintanya akan bicara.
••••
Hari yang sama, 14:45.
"DIANDRA!! ELO GK APA-APA?!?"
"YA TUHAAN! DIANDRA!!"
Ketika kelopak matanya perlaham membuka, yang
pertama kali dilihat Diandra adalah wajah-wajah penuh ketakutan yang dibarengi
helaan penuh syukur saat sosok di depan mereka mulai sadar.
"Diandra!! Elo gak knapa-napa?"
Astrid memekik panik.
"Untung lo sadar! Dimana yg sakit, Di?
Ada yg luka ngga? Ambulans dalam perjalanan..." ujar Rasti khawatir.
Diandra menggeleng-geleng lemah, mencoba
mengusir rasa ngilu yang menggigit keningnya. Pasti akibat kepalanya terbentur
cukup keras. Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, ia mencoba duduk.
"Pelan-pelan, Di..." Tari mengusap
dahinya dengan sehelai tisu, menghilangkan keringat dan debu aspal yang menempel
disana.
"Sakit gak, Di?"
Diandra tidak menjawab. Ingatannya terfokus
pada pristiwa yang kejadiannya begitu cepat. Matanya hanya dapat menatap pasrah
pada truk yang tiba-tiba mnerobos dengan kcepatan tinggi, sedangkan ia sendiri
tidak dalam keadaan alert -mngingat jalanan itu memang biasanya tidak terlalu
ramai.
Yang terakhir diingat Diandra adalah suara
seorang cowok yang mneriakkan namanya keras-keras, mempringatkan. Namun, truk
itu sudah terlalu dekat... dan bsarnya gak main-main. Segede gaban, dan siap
melumat habis tubuhnya dalam hitungan detik. Untung ia terhindar, kalau
tidak...
...W-wait... wait.
Right. Truk itu sangat besar dan melaju
bagai tidak terkendali. Namun, ia BISA terhindar...
It was imposible!
Couldn't be
Diandra
menatap teman-temannya satu per-satu, mencoba menemukan jawaban. Namun, yang
didapatnya hanya wajah pucat dan tampak cemas.
"Gimana gue bisa selamat? Tadi itu gak
mungkin" tanyanya lirih..
Rasti dan yang
lainnya saling tukar pandangan, kemudian kembali memandangnya dengan sorot
misterius.
"Elo kenpa sih?" Diandra mendesak bingung.
Tari menelan
ludah sebelum bersuara. "Mmm..ada yang nyelametin elo, Di"
"Nyelametin
gue? Maksudnya?"
"Dia
dorong elo sampe kelempar ke trotoar, dan sebagai gantinya..."
Tari
tertunduk. Mata Rasti berkaca-kaca.
"Dia
Rendra, Di. Dia meninggal."
Narendra
Septian Putra Pratama
Diandra tidak mengenalnya, tapi rasanya nama
itu tidak asing baginya. Kemudian, ketika melihat wajah berlumur darah yang
setengah hancur itu, ia baru bisa mengenalinya.
Wajah itu nampak familier, walau Diandra
tidak sepenuhnya ingat pernah bertemu dimana. Keterlaluan memang, Rendra
sebetulnya satu sekolah dengan mereka, seangkatan pula. Bedanya, Rendra anak
IPA yang lebih banyak nongkrong di lab Fisika, sedangkan Diandra dan
teman-temannya nyaris tidak pernah menginjakkan kaki di sana kecuali ada
praktikum.
Namun sepertinya mereka pernah ketemu...
Dulu. Kapan ya?
Titik hujan mengenai ujung hidung Diandra,
diikuti titik-titik lain yang membentuk gerimis kecil. Sirine ambulans
meraung-raung di kejauhan.
"Ambulans
datang, Di...." bisik Rasti.
Diandra tidak
menjawab. Ia meraba tetesan air di punggung tangannya, otaknya berputar
me-recall sesuatu....
Pertengahan
Oktober, setahun lalu.
Metromini yang ditunggu-tunggu Diandra tidak
juga nongol, padahal ia nyaris karatan berdiri di pinggir jalan selama setengah
jam. Metromini sial, kalo gak di
tungguin selalu seliweran. Giliran butuh banget, malah gak satu pun dateng..
Duh, mana mendung gini lagi. Ia menatap langit dengan cemas, berharap hujan
tidak turun.
Harapannya tidak
terkabul. Dalam hitungan menit, awan kelabu itu berubah menjadi hujan yang
deras. Diandra hanya bisa pasrah di bwah pohon yang menaunginya, sambil
menutupi tubuh sebisa mungkin degan tasnya.
"Payung, Non?"
Diandra
menoleh, seorang cowok berdiri tidak jauh darinya mengulurkan payung lebar
berwarna hijau. "Tapi saya gak ke mana-mana, cuma nunggu bis disini."
"Ngga apa-apa, Non, Saya
tungguin."
"Berapa?"
"Seribu aja, Non."
Diandra berpikit-pikir ada yang ganjil
disini. Cowok ini potongannya sama sekali gak mirip ojek payung. Lebih mirip
anak sekolahan,seperti dirinya tapi ah.... peduli amat.
Diandra tersentak,
Betul. Tidak salah lagi.
Si ojek payung itu Rendra.
Lima bulan berlalu..
"Duh, mana sih Si Udin? Gue pengen
baksonya nih! Lapeeerr!" Tari mencetus seraya mengipasi leher dengan
telapak tangan. Mereka semua berkeringat dan penuh debu setelah mengikuti eskul
voli yang ngga main beratnya.
"Mau ikut cari makanan gak, Di?"
Diandra
meneguk Aqua dinginnya, "Ngga deh. Gue nanti ajah. Mau cuci tangan
dulu"
"Yaudah. Daaah, Di!"
"Oke."
Setelah
menghabiskan isi botol yang tinggal sedikit, ia bersiap-siap pergi.
"Siomay,
Neng?"
Diandra menoleh,
seporsi siomay lengkap dengan saus sambal dan bumbu kacang kesukaannya bagai tersenyum
pada perutnya yang keroncongan. Uap di balik wadah menandakan siomay masih
hangat.
Seorang cowok dalam kaus kaki abu-abu
sederhana tersenyum ramah.
"Berapaan,
Bang?"
"Cuma
dua setengah aja neng."
"Nih,
Bang."
"Makasih,
Neng."
Diandra termenung tidak memperdulikan ocehan
teman-temannya yang khawatir. Tidak memperdulikan ambulans yang ditumpanginya.
Tidak peduli akan pertanyaan-petanyaan petugas medis.
Tempat
Pemakaman Umum, 2 hari kemudian.
Diandra dan teman-temanya bersimpuh di makam
yang masih basah. Setelah membaca doa, mereka menatap gundukan tanah itu tanpa
bicara.
Astrid mengelus lembut punggung Diandra.
"Keluarin, Di. Kalau mau nangis...," belum sempat ia menyeleseikan
kalimat, Diandra sudah terisak.
"Di?...."
"Buat apa dia ganti'in gue?
Kenapa..." Diandra tidak mampu menahan air matanya.
"Kenapa dia smpe rela gitu buat
gue?"
"Diandra" Rasti memperkuat
rangkulannya di bahu Diandra, tidak tau harus berkata apa.
"Dia tukang ojek payung itu, Ras.. Dia
juga yang ngasih gue siomay murah.." isak Diandra
Rasti dan Astrid bertukar pandangan dengan
bingung, tidak mudeng arah pembicaraan ini.
Kemudian Tari mengulurkan amplop bernuansa
biru muda dengan motif awan yang kotor oleh noda cokelat kemerahan.
"Waktu
lo dinaikin ke ambulans, ada orang ngasih ini. Katanya ditemuin di sakunya
Rendra. Ada nama lo di situ, Di"
Delapan pucuk surat terlipat rapi, dengan
tulisan tangan yang rapi pula. Diandra merasa matanya memanas kala ia memisah
lembar demi lembar
Tari mengusap bahu Diandra.. "Rendra
cinta sama elo, Di..."
Embun kembali jatuh saat Diandra mulai
membaca. Ya tuhan, selama ini ada yang mencintainya begitu rupa, dan ia tak
pernah tau. Kata-kata ini terangkai tulus, dan ia tak pernah sadar ada hati yang
begitu menyayanginya...
Diandra tak sanggup meneruskan, surat yang
sudah kotor oleh bercak darah semakin lusuh oleh air matanya.
"Udah, Di...," bisik Rasti lembut,
menenangkan
"Kenapa dia sampe kayak gitu, cuma buat
gue.. Gue bukan siapa-siapanya, kenal jga nggak." tangis Diandra kembali
tumpah.
Keheningan menyelimuti mereka, waktu bagai
memberi ruang untuk mereka. Tari meremas pelan bahu Diandra. Jawaban ini
sesungguhnya amat sederhana..
"Rendra meninggal supaya elo tetep
hidup, Di."
... Cinta itu
tanpa syarat, dan rela berkorban.
•● TAMAT ●•
Terima kasih
semua, udah mau baca sekilas kutipan cerita di atas, semoga kalian bisa
mengambil hikmah dari cerita di atas.
TERIMAKASIH
(•ˆ⌣ˆ•)